26 Tahun, 5 bulan, 27 hari menjadi seorang cicit;

Iffah
7 min readOct 9, 2023

--

— catatan memori hidup bersama Uyut

Barangkali, salah satu dari tidak sedikit keistimewaan yang ku punya dalam hidupku adalah tentang kelahiranku. Lahir sebagai anak pertama dari sepasang suami istri yang merupakan anak pertama dan anak tunggal, menjadikan banyak orang turut merayakan kelahiranku. Termasuk 5 orang Uyutku. Untuk yang tidak familiar, aku memanggil orang tua dari Akung dan Utiku dengan sapaan Uyut.

Ayah dan Ibuku sebelum menikah bertetangga. Rumah Akung-Uti Ayah dan Akung-Uti Ibu berjarak kurang dari 1 KM di Klaten. Sewaktu aku lahir, entah karena apa (aku belum pernah bertanya), Ibu memilih untuk melahirkanku di sana. Tanpa disaksikan Ayah yang harus menaiki entah bus kota atau kereta api dari perantauan saat Ibu melahirkanku.

Di waktu aku lahir, dari sekian banyak orang yang menyambut kedatanganku ke dunia, ada 5 orang Uyut yang turut-serta merayakan kelahiranku:

  • Uyut Uti, orang tua Akung Ibu
  • Uyut Uti, orang tua Uti Ibu
  • Uyut Akung, orang tua Akung Ayah
  • Uyut Akung, orang tua Uti Ayah
  • Uyut Uti, orang tua Uti Ayah

Di saat ada anak-anak yang bahkan tidak pernah bertemu dengan orang tuanya atau mungkin tidak sempat digendong atau dibelikan apa saja yang diinginkannya oleh Akung dan Utinya, seharusnya sedari lama Aku sadar bahwa hal ini harus Aku rayakan di dalam kehidupan, ya?

Sayangnya, sepertinya benar apa yang orang-orang bilang, bahwa sesuatu kerap kali terasa berharga justru ketika sudah tiada. Minggu lalu, masa-masa ku menjadi seorang cicit yang bisa menyambangi Uyutnya sudah selesai.

Uyut Uti dari Uti Ayah sudah tidak perlu lagi mengingat kembali satu per-satu cucu dan cicitnya tiap kali dikunjungi, Uyut Uti sekarang sudah berkumpul bersama Uyut Akung, di sisiNya. Bersama dengan ketiga Uyutku yang sudah lebih dahulu mendahului mereka, dan tiga Uyut lainnya yang tidak sempat ku temui di kehidupan.

Sekarang, aku sudah tidak lagi bisa bertemu dengan Uyutku, yang mana pun. Sedih? Sudah tentu. Tapi, ternyata, 30 jam ini berefleksi di dalam pikiran, aku justru jadi banyak bersyukur. Dan sekarang, ingin melakukan apa yang sepertinya semestinya sudah lama aku lakukan: merayakan kehidupan sebagai seorang Cicit.

Tentang Uyut Uti, Orang tua Akung Ibu

Uyut Uti Akung Ibu punya panggilan sayang untukku: si embung. Asal-muasalnya karena dulu, tiap kali diajak atau ditawari sesuatu aku kerap kali menjawab perkataannya dengan “embung”. Embung yang dimaksud bukan embung yang merupakan cekungan besar penadah air, tapi embung yang berarti tidak mau dalam Bahasa Sunda, yang tentu saja Uyut Uti tidak mengerti artinya.

Uyut Uti meninggal saat usiaku belum sampai 5 tahun. Aku lupa tepatnya, seingatku, aku pun tidak berkesempatan untuk turut hadir dalam pemakamannya. Entah karena apa. Yang sampai sekarang masih selalu Aku ingat dari Almarhumah, selain sapaan “Si Embung” adalah kebaik-hatiannya yang selalu menyiapkan uang 500 rupiah dalam jumlah banyak di dompet tiap kali tahu aku akan berkunjung.

Tentang Uyut Uti, Orang tua Uti Ibu

Sejujurnya, tidak banyak memoriku dengan Uyut Uti Uti Ibu. Sewaktu aku beranjak besar dan mulai bisa merespon secara sadar hal-hal yang ada di sekelilingku,Uyut Uti Uti Ibu sudah sakit dan tidak bisa beraktivitas secara penuh. Tapi aku masih ingat betul bahwa aku sempat mengunjunginya beberapa kali, sebelum Uyut Uti Uti Ibu berpulang.

Uyut Uti Uti Ibu, dulunya adalah seorang pedagang yang terkenal di kampung. Uyut Uti menjual beranekaragam barang. Dari masakan, bahan makanan, hingga daging dan ayam potong. Hal ini, menjadikannya identik dengan dompet besar tempat menyimpan uang. Yang tentu saja hingga akhir perjumpaan kami menjadi highlight untukku, Uyut Uti mewajibkan cicitnya (entah hanya aku saja atau semuanya) untuk menerima uang dari dompetnya tiap kali berkunjung.

Walaupun tidak sempat bertemu dengan masa sehat Uyut Uti, tapi aku merasakan usaha-usaha yang Uyut Uti lakukan selama masa jayanya. Hingga sekarang, tiap kali berkunjung ke daerah rumah Uyut Uti (yang sekarang ditempati oleh adik Uti Ibu), orang-orang akan menyapa Ibu dengan ramah. Konon, sesama hidupnya, Uyut Uti dan Uyut Akung terkenal sebagai pedagang yang baik untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang-orang pun turut segan dan hormat pada mereka, juga keturunan-keturunannya.

Tentang Uyut Akung, Orang tua Akung Ayah

Uyut Akung Akung Ayah adalah salah satu saksi bagaimana aku belajar sepeda roda 2 sampai badanku bertebaran plester luka di mana-mana.

Ceritanya, sewaktu kecil aku tidak kunjung bisa menaiki sepeda roda 4 atau pun sepeda roda 3. Entah karena apa. Lalu, di masa-masa itu, aku sempat beberapa kali harus tinggal di Klaten untuk waktu yang cukup lama. Karena Uti Ibu memiliki urusan yang harus diselesaikannya. Waktu kecil, karena Ayah dan Ibu kerja, dan belum bisa untuk menggaji pengasuh, aku diasuh oleh Uti Ibu. Sehingga ketika beliau ada urusan di Klaten, otomatis aku pun harus turut serta.

Nah, di masa ikut Uti Ibu tinggal di Klaten itu, aku bermain dengan sepupu Ayahku (yang usianya tidak terlalu jauh dariku). Sepupu Ayahku ini tinggal di rumah Uyut Akung. Di rumah itu, ada sepeda roda 2 kecil yang sudah lama tidak ia gunakan bahkan sepedanya sudah karatan di beberapa bagian. Entah ide dari mana, dengan percaya dirinya, anak kecil yang belum bisa mengendarai sepeda roda 3 ataupun roda 4 itu meminta untuk diajari cara mengendarai sepeda roda 2 itu.

Hasilnya? :) Seperti yang sudah ku ceritakan di atas, plester luka di mana-mana. Haha setiap hari, ada luka baru di kaki, tangan, atau wajahku. Bahkan hingga ke perut karena beberapa kali jatuhnya terseret.

Uyut Akung Akung Ayah, ada di momen ini. Beliau yang waktu itu sudah menggunakan tongkat untuk mobilisasi, menyaksikanku berlatih sepeda dari amben di pelataran rumahnya. Diingat-ingat, depan rumah Uyut Akung Akung Ayah adalah pasir. Tapi, kenapa waktu itu aku lukanya banyak ya?

Sewaktu Uyut Akung Akung Ayah tidak ada, aku sempat melihatnya untuk kali terakhir. Uyut Akung Akung Ayah dimakamkan dengan menggunakan upacara adat agama Hindu, sebagai penganutnya. Sampai sekarang Aku masih ingat betul ikut berebut uang koin yang disebar bersama dengan entah bunga atau apa berwarna kuning cerah di halaman rumah Uyut Akung sebelum pemakamannya.

Tentang Uyut Akung, Orang tua Uti Ayah

Ingatanku tentang Uyut Akung Uti Ayah masih sangat lekat. Uyut Akung meninggal saat aku SMA.

Yang paling ku ingat, beberapa bulan sebelum Uyut Akung meninggal, Uyut Akung meminta untuk mengumpulkan semua Anak, Anak Menantu, Cucu, Cucu menantu, dan Cicitnya. Waktu itu, kami berkumpul beramai-ramai di rumah Uyut Akung sambil memakan daging kambing yang sengaja disembelih untuk hari itu. Di hari itu, Uyut Akung menghitung berapa jumlah anak yang dimilikinya, ada berapa menantunya, ada berapa cucunya, ada berapa cucu menantunya, dan ada berapa cicitnya. Lalu di akhir Ia berkelakar (dalam Bahasa Jawa, yang kuingat artinya),

“Wah, tadinya aku hanya hidup sendiri, lalu mengajaknya (Uyut Uti) untuk hidup bersama. Tiba-tiba sekarang jadi lebih dari 100 orang saja ya keluargaku…”

Aku sangat mengingat momen ini, karena waktu itu, Uyut Akung sempat bertanya kepadaku (yang masih SMA), sebagai cicit tertuanya,

“Kapan Uyut punya cicit menantu dan canggah?”

Yang tentu saja ku jawab dengan gelak tawa. Andai Uyut Akung tahu jika Ia bertanya padaku di hari ini pun, beberapa tahun setelah hari itu, Aku masih akan menjawabnya dengan cara yang sama.

Uyut Akung meninggal selang beberapa bulan setelah kumpul keluarga besar itu. Senang rasanya sempat menemaninya berhitung tentang berapa jumlah keluarganya. Uyut Akung mengenalku sebagai Cicitnya yang pandai berhitung, Ia sebegitu bangganya sempat tahu cerita Cicitnya pergi ke luar negeri untuk lomba matematika dan pulang dengan membawa medali (walaupun cuma perunggu haha).

Tentang Uyut Uti, Orang tua Uti Ayah

Yang paling ku ingat dari Uyut Uti adalah… makanan-makanan yang disuguhkannya di hari lebaran. Tiap kali berkunjung ke rumahnya di hari lebaran, aku akan dengan senang hati me-refill soto yang disajikan langsung ke dapur. Soto Uyut Uti sangat enak. Walaupun setelah ku ingat sekarang, sudah bertahun-tahun juga tidak merasakannya, karena belakangan Uyut Uti sudah tidak bisa lagi bangun dari tempat tidur untuk beraktivitas.

Selain soto, aku juga selalu takjub dengan bagaimana Uyut Uti menyayangi Cucu menantunya, yang adalah Ibuku. Tiap kali tahu Ibu akan berkunjung, Uti akan memasak ikan dan menyisihkan kepala ikannya untuk Ibu. Uyut Uti mengingat Ibu yang senang memakan kepala ikan. Selain itu, di hari lebaran, Uyut Uti juga selalu menyimpankan kue Apem untuk Ibu, karena Ibu pernah bilang kue Apem buatan Uyut Uti enak dan Ibu menyukainya. Hal tersebut terekam jelas di dalam kepalaku karena memang berulang di setiap tahun, hingga Uyut Uti sudah tidak bisa lagi untuk beraktivitas secara leluasa.

Uyut Uti juga orang yang lucu, senang berkelakar dan menjahili orang-orang. Kalau Uyut Uti Akung Ibu mengenalku sebagai si embung, Uyut Uti Uti Ayah mengenalku sebagai si anak sapi. Karena aku sering menirukan suara sapi sambil menengok sapi yang dimilikinya tiap berkunjung. Waktu itu rumah sapi Uyut Uti canggih sekali! Tingkat!

Uyut Uti meninggal hari Minggu lalu, dan langsung dimakamkan hari itu juga. Setelah beberapa tahun terakhir tiap bertemu aku harus memperkenalkan diriku, karena ingatan Uyut Uti yang sudah tidak setajam manusia pada umumnya, lebaran nanti entah bagaimana aku akan menyapanya di rumah barunya.

Pada akhirnya, seperti yang tertulis di Qur’an Surah Al-Ankabut ayat 57,

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.”

Aku menyadari bahwa tidak ada yang selamanya di dunia ini. Tapi, lewat tulisan ini, aku ingin merayakan salah satu keistimewaan yang ku miliki dalam hidupku: kelahiranku dirayakan oleh 5 orang Uyutku. Aku ingin turut serta merayakan keberadaan mereka di dalam hidupku, lewat mengenang kenangan-kenangan yang masih teringat di kepalaku.

Melalui tulisan ini.

Terima kasih Uyut Akung, Uyut Uti.
Terima kasih untuk sudah membuatku merasakan menjadi seorang Cicit yang dilimpahi kasih sayang Uyut-Uyutnya selama 26 tahun, 5 bulan, 27 hari. Maaf, belum bisa untuk membuat Uyut-Uyut merasakan pencapaian lainnya dalam hidup: bertemu canggah.

Tapi, nanti, kalau canggahnya sudah lahir. Aku janji akan mengenalkannya ke Canggah Akung dan Canggah Utinya yang menyenangkan dan penuh kasih sayang :)

Oktober, 2023.

--

--