Di Emperan Waralaba Merah Biru Kuning Petang Ini;

Iffah
3 min readMar 31, 2023

--

— tentang belajar di persinggahan

Photo by Fawwaz Ali on Unsplash

Sore tadi, setelah dua bulan absen dari kelas yoga di studio yoga dekat rumah, aku akhirnya kembali. Karena Ramadhan, kelas yoga yang seyogyanya dimulai pukul 17.00, maju satu jam. Tapi, jadwal tinggal jadwal karena nyatanya aku harus menunggu tiga puluh menit dari jam yang dijanjikan. Sehingga, kelas selesai setengah jam lebih awal dari jadwal biasanya, yang berari tiga puluh menit sebelum jam berbuka puasa. Kenapa sejak awal tidak dimajukan setengah jam saja, ya?

Yoga hari ini tanpa keringat. Selain karena AC yang lupa dimatikan, juga karena guru dan teman-teman yogaku merasa lemas karena berpuasa. Sehingga kami tidak melakukan berbagai pose yoga yang sedikit menyiksa tubuh seperti biasanya, hanya stretching-stretching ringan saja. Untuk aku yang sedang tidak berpuasa, tentu saja tidak terasa sama sekali yoga sore ini. Sedikit menyesal datang sebenarnya.

Di akhir kelas, saat Savasana (pose penutup yoga dimana yogi berpose seperti mayat — diam tidak bergerak), kepalaku entah kenapa membayangkan kesegaran lemonade dingin yang entah di mana bisa ku dapatkan. Tidak mau tidak bisa tidur karena kepikiran, akhirnya aku pun memutar kepala, mencari di mana sekiranya aku bisa menemukan lemonade dingin (atau ya minuman yang mirip dengan itu) dan pilihanku jatuh pada penjaja jus di emperan waralaba yang banyaknya seperti jamur di kehidupan, yang bisa kamu lihat di foto di atas.

Sebelum aku datang, kedai jus itu sudah dikerubungi oleh 3 orang dewasa dan 2 orang anak-anak. Setelah aku datang, seorang Ibu dan 2 orang bapak memburu menyebut pesanan-pesanannya (yang masih aku ingat betul! Si ibu memesan 1 jus alpukat dan 1 jus jambu, si bapak pertama memesan 1 es buah, dan si bapak satunya memesan 2 jus alpukat dan 1 jus jeruk). Sampai tiba saat si bapak penjualnya menanyakan pesananku, belum ada satu pun dari kami yang bisa pulang membawa pesanannya sebagai hidangan berbuka.

Dan ternyata, pada akhirnya memang orang-orang (aku tidak) berbuka puasa bersama di kedai.

Di antara orang-orang di kedai sore tadi, ada seorang bapak yang membawa 2 anaknya. Setelah mendengar adzan, perbincangan mereka yang tidak sengaja aku dengar menarik pikiranku untuk menuliskan tulisan ini.

Bapak: “Beli minum gih, masuk ke dalam.”

Anak 1: “Di *menyebutkan nama waralaba yang dimaksud*? Nggak ah nggak mau, takut kurang lagi kayak waktu itu. Teteh trauma tau”

Mendengar jawaban anaknya, si Bapak memutar balik tubuhnya, berjalan sendiri ke dalam, entah pada akhirnya keluar dengan apa aku tidak lagi memperhatikan. Pikiranku sudah lebih dahulu melayang ke beberapa fragmen di kehidupan. Dan menelurkan dua buah pertanyaan:

“Ternyata waralaba itu barang mewah ya untuk beberapa orang?” — bahkan di Pulau Jawa. 1,5 tahun lalu ketika datang ke Papua aku memaklumi kalau barang ini adalah barang yang mewah untuk masyarakat di sana, tapi sore tadi aku kaget dengan percakapan Bapak dan Anaknya di atas.

“Anak kecil sekarang tahu trauma dari mana deh?” — si anak berusia kurang dari 10 tahun, aku yakin. Gimana bisa dia mengatakan dia trauma? Nggak masuk di kepalaku rasanya…

--

--