Orang-Orang di Sekitaran Bundaran, Hotel, Grand, dan Plaza Negara;

Iffah
5 min readApr 2, 2023

--

lagi-lagi oleh-oleh dari berjalan kaki.

Photo by Arvin Putra Pratama on Unsplash

“Lagi baca paper tentang gimana jalan kaki bisa jadi metode riset yang oke karena bikin “melek” sama kondisi dan realita. Ini lu banget sih Ffah si ter-jalan kaki.”

November lalu seorang teman yang sedang menimba ilmu di bagian utara bumi mengirimkan saya kalimat di atas. Melalui aplikasi berkirim pesan yang logonya berwarna hijau. Tidak lupa, ia turut menyertakan paper yang dimaksud di dalamnya. Papernya bisa diakses di sini jika mungkin kamu tertarik untuk membacanya.

Jalan kaki adalah salah satu kegiatan yang paling saya gemari di dunia. Entah sejak kapan, berjalan sambil celingukan memperhatikan sekitar selalu bisa merefresh pikiran. Pikiran yang tadinya suntuk dengan satu-dua hal, bisa tiba-tiba berwarna dengan hal-hal baru yang didapat dari berjalan kaki rasanya. Dan ya… teman-teman dekat atau teman-teman seaktivitas saya sewaktu kuliah, pasti tahu betul bagaimana saya betulan mencintai kegiatan ini.

Pernah suatu hari, saya menjadi akrab dan senang sekali berteman dengan seorang teman baru hanya karena dia mengajak saya berjalan kaki. Waktu itu, kami ingin berkunjung ke sebuah warung tenda kaki lima yang menjajakan makanan yang untuk saya asing sekali: nanas goreng.

“Lo suka jalan kaki kan? Gimana kalau kita ke sananya jalan kaki aja?”

Saya sulit menerima orang baru di dalam hidup, ya anaknya introvert mentok dan emang malas aja berhubungan sama banyak orang. Tapi, lewat malam itu saya tahu kalau jalan kaki ternyata bisa jadi medium saya berkenalan dengan orang-orang baru. Dan entah kenapa rasanya sejak itu juga, banyak teman yang jadi sering mengidentikan saya dengan jalan kaki. Seolah cara untuk membuat Iffah senang atau mau bersinggungan dengan sekitar adalah dengan mengajaknya berjalan kaki.

Ya tapi nggak apa-apa, saya beneran senang juga sih emang.

Sabtu malam kemarin, saya kembali berjalan kaki. Setelah siangnya di sepanjang Cikini, sore sedikit ke daerah Cipete, sempat mampir ke Blok M, akhirnya saya dan teman saya memutuskan untuk menumpang MRT hingga stasiun paling utaranya (untuk saat ini): Bundaran HI. Tujuannya, kami ingin menyambangi salah satu pusat keramaian yang terletak di dekat sana untuk membeli beberapa hal.

Turun dari MRT, kami naik ke atas. Karena memang transportasi publik ini beroperasi di bawah tanah untuk ruas Bundaran HI hingga Senayan. Selebihnya, dari Asean hingga Lebak Bulus operasi dilakukan di rel layang. Rasanya memang sudah sepadat itu ya kota ini untuk kembali diisi dengan berbagai hal sampai pilihannya antara terkubur atau melayang?

Keluar dari stasiun, kami menyusuri Jalan MH Thamrin ke arah selatan, kemudian berbelok di persimpangan ke arah barat menyusuri Jalan Kebon Kacang, tujuan kami ada di selatan Jalan Kebon Kacang, tepatnya di pusat keramaian yang terbelah Jalan Teluk Betung.

Jalan-jalan di atas bukan jalan yang asing untuk saya. Sejak bekerja dan memutuskan untuk freelancing di beberapa tempat, urusan-urusan pekerjaan tidak jarang tersebar di daerah ini. Atau sesekali juga berjanji temu dengan teman-teman di sana. Tapi karena biasanya datang untuk urusan-urusan yang terburu waktu, saya tidak pernah begitu memperhatikan sekitar. Dan sesungguhnya, daerah ini pun bukan daerah yang nyaman untuk saya. Terlalu ramai.

Sampai malam kemarin, ketika saya dan seorang teman ingin menyeberangi Jalan Kebon Kacang untuk berpindah dari ruas utara ke ruas selatannya, seorang anak laki-laki membantu kami menekan pelican crossing yang tersedia di sana, tanpa kami minta. Setelah mengucapkan terima kasih, kami kembali mengobrol hingga akhirnya anak laki-laki itu menegur.

“Ayo Kak nyebrang”

dan kemudian di akhir penyeberangan dia mengulurkan ember yang sedari tadi dipegangnya di tangan. Mungkin saja ada di antara kami, penyeberang jalan waktu itu, yang ingin membagikan sedikit uang.

Saya tidak sedang memiliki uang cash yang terjangkau tangan semalam, tapi entah kenapa saya ingin sekali berbagi dengannya. Teringat di dalam shoulder bag yang saya gunakan masih ada sepotong Shawarma yang belum saya makan, saya pun lekas mengambilnya, dan mengulurkannya kepada anak laki-laki yang membantu saya menyeberang tadi.

“Aku adanya makanan, kamu mau nggak?”

“Wah mau Kak, nggak apa-apa. Makasih ya Kak!”

Sesungguhnya awalnya merasa bersalah. Karena Shawarna itu bukan makanan baru. Di jam buka puasa tadi, aku memesan 1 porsi Shawarma yang ternyata terdiri dari 2 potong. Aku memakan satu potongnya, dan potongan yang kuberi untuk anak kecil itu adalah potongan yang tersisa (tidak ku sentuh karena terlalu kenyang). Tapi rasa bersalah itu menguap, sesaat setelah melihat anak itu berucap dengan nada yang… riang.

Peristiwa itu terus terbayang di kepalaku, hingga akhirnya aku sampai ke tempat yang aku tuju.

“Anak laki-laki tadi beraktivitas di tempat ini, di antara gedung-gedung tinggi tempat entah berapa banyak uang berputar setiap waktunya. Di antara bundaran, hotel, grand, dan plaza yang menyandang nama negara seolah mereka sebegitu vitalnya. Tapi anak laki-laki tadi, mendapat sepotong Shawarma dingin yang harganya bahkan tidak bisa untuk membayar biaya parkir di sana saja riang sekali suaranya. Akan seperti apa ya dia tumbuh nantinya? Akan jadi apa ya dia besarnya?”

Sejak pulang bertugas menjadi Pengajar Muda dari Maybrat, rasanya tiap kali melihat anak-anak yang ada di pikiran saya adalah sebuah kalimat dari pepatah Afrika, it takes village to raise a child. Pikiran saya akan langsung ramai mengamati: seperti apa lingkungan di sekitar anak ini, lingkungan ini akan membuatnya tumbuh menjadi seperti apa ya nantinya?

Jam sudah menunjukkan hampir pukul 21.00 dan saya sudah ikhlas ketinggalan kereta terakhir ke Cibinong ketika saya keluar dari tempat tujuan tadi. Untuk pulang, saya harus kembali menyusuri jalan yang sama, hanya saja terbalik urutannya. Begitu keluar dari tempat tujuan saya tadi, pikiran saya langsung kembali teringat pada anak laki-laki yang tadi membantu saya menyeberangi jalan: “udah semalam ini, dia masih di sana nggak ya?”.

Bersyukurnya jawabannya tidak. Anak laki-laki tadi sudah tidak berada di tempat yang sama. Entah kemana, mungkin pulang ke rumahnya yang entah di mana.

Selesai dengan pikiran tentang anak laki-laki tadi, saya kembali dihadapkan dengan fenomena yang sungguh menarik untuk dipikirkan: gerombolan orang yang terduduk meleseh di trotoar, memandangi bundaran yang di sekitarnya banyak kendaraan berlalu-lalang.

Ternyata, untuk orang-orang yang berbeda, tempat ini bisa memiliki fungsi dan arti yang tidak sama.

Ada orang-orang yang menjadikannya tempat menjalani profesi, ada yang menjadikannya tempat mencari hiburan.

Ada yang berkewajiban mengunjunginya setiap hari di hari kerja, ada yang berkesempatan menikmatinya sesekali di akhir pekan.

Ada yang datang ke sana untuk mencari uang dengan bekerja seharian, ada yang datang ke sana untuk menghabiskan uang sekedar untuk membeli segelas starling atau seporsi otak-otak bakar.

Aku tersenyum, menikmati perjalanan kaki di akhir malam itu sembari menengok ke kanan dan kiriku:

Ada ayah, ibu, dan dua anaknya yang duduk tepat di pinggir jalan. Si ayah sesekali menunjuk ke udara lepas, entah kemana arah yang diperbincangkan. Si anak menyimak dengan seksama.

Ada sepasang muda-mudi yang saling bersandar, mengobrol sembari memandang entah gedung, monumen, atau keramaian orang.

Ada penjaja starling yang menunggu pelanggan, ada juga yang lain yang sedang membuat segelas minuman.

Perjalanan kakiku malam itu ku tutup pada pukul 21.16, menaiki MRT untuk berhenti di stasiun pemberhentian pertama yang hampir kebablasan, karena pikiranku masih tertinggal. Memikirkan… sayang sekali jika malam tadi tidak kutuliskan.

Dan tulisan ini lah yang terhasilkan.

--

--