Pendidikan yang Berkeadilan;

Iffah
5 min readJun 19, 2023

--

Photo by Erik Mclean on Unsplash

Saya lupa kapan tepatnya, tapi momennya terjadi ketika saya sedang menyelami kehidupan saya sebagai seorang Pengajar Muda. Entah juga di fase apa, mungkin seleksi atau pelatihan, saya tidak ingat pastinya. Waktu itu, seseorang, yang entah juga siapa karena lagi-lagi saya lupa berujar,

“Persoalan pendidikan adalah bak sebuah prasmanan besar yang dihidangkan di depan kita semua, dan setiap kita, terlepas dari siapa dan di mana, bisa untuk mengambil porsi masing-masing. Sesuai dengan yang kita suka atau mungkin sesuai dengan apa yang kita mampu”

Dari sana, selain tentang kontribusi yang bisa diambil menyoal pendidikan, saya juga akhirnya menyadari suatu hal: bahwa persoalan pendidikan adalah persoalan yang besar, sangat besar.

Twitter adalah media sosial favorit saya. Kenapa ya, saya juga tidak tahu sesungguhnya alasannya, yang saya tahu saya nyaman dan selalu merasa bisa menjadi diri saya sendiri di sana.

Entah sudah berapa kali, selama saya menjadi pengguna setianya (dengan 2 akun yang berbeda), perbincangan tentang LPDP bergulir di Twitter. LPDP yang dimaksud adalah akronim dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, sebuah lembaga di Kementerian Keuangan yang bertugas melaksanakan pengelolaan dana abadi (endowment fund) pendidikan yang bersumber dari Dana Pengembangan Pendidikan Nasional, pendapatan investasi, dan/atau sumber lain yang sah untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Dewan Penyantun, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Singkatnya, LPDP ini adalah lembaga pemberi beasiswa kepada masyarakat umum yang dana beasiswanya berasal dari berbagai sumber dana yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.

Hmm… yang diperbincangkan apa?

Jadi, salah satu ketentuan yang diberikan oleh LPDP kepada para awardee atau penerima beasiswanya adalah keharusan untuk kembali dan berkontribusi selama 2n+1 tahun, di mana n adalah lama waktu tempuh studi yang dilakukan oleh awardee.

Kembali ke Indonesia dan berkontribusi di Indonesia selama 2 kali masa studi ditambah 1 tahun (2n+1) setelah selesai studi secara berturut-turut.

Sumber: https://lpdp.kemenkeu.go.id/en/beasiswa/umum/beasiswa-reguler-2022/

Ketentuan ini terdengar sederhana dan simple tapi rasanya hampir tiap tahun selalu diperbincangkan. Atau bahkan setahun bisa berkali-kali diperbincangkannya. Alasannya karena…?

Ada awardee LPDP yang pada akhirnya tidak kembali (atau tidak langsung kembali) pulang setelah menyelesaikan pendidikannya (atau bahkan setelah dinyatakan gagal menyelesaikannya). Para awardee ini melanjutkan hidupnya di luar negeri, desas-desusnya memanfaatkan keleluasaan dan fasilitas yang ada di sana untuk mempermudah kehidupannya.

Perbincangan ini, rasanya, sudah lama bergulirnya. Saya sendiri sudah agak bosan menyimaknya tapi di bahasan kemarin, saat bahasan ini kembali ramai di Twitter, ada satu tweet yang menarik untuk saya.

Dana yang digunakan untuk LPDP, sebaiknya dialihkan untuk pendidikan dasar anak-anak atau ngegaji guru di daerah-daerah terpencil.

Tweet di atas mendapatkan 393 tanda hati dan ditweet ulang oleh 54 akun Twitter.

Dua hal di atas, tentang permasalahan pendidikan yang besar dan suara salah seorang pengguna Twitter yang mengaspirasikan pengalihan dana yang digunakan oleh LPDP untuk membiayai awardee-nya guna pendidikan dasar anak-anak atau menggaji guru di daerah-daerah terpencil mengingatkanku pada pikiran yang ku dapat dari membaca sebuah buku berjudul Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner yang ditulis oleh Gina S. Noer.

Buku itu bercerita tentang masa muda Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang akrab disapa B. J. Habibie, Presiden ketiga negara ini. Bapak Teknologi Indonesia yang juga dijuluki Mr. Crack ini semasa mudanya berkuliah di Jerman dengan biaya pribadi yang diusahakan oleh maminya. Setelah menyelesaikan studinya dengan segala upaya dan usaha yang ia bisa, ia berkirim surat kepada pemerintah Indonesia dan menyatakan keinginannya untuk kembali pulang ke Indonesia guna membangun industri pesawat terbang yang diyakininya dapat menjadi industri masa depan negara yang merupakan negara maritim ini.

Tapi saat itu, menurut kesaksian B. J. Habibie, Ir. Soekarno yang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia justru melarangnya untuk kembali.

“Tidak ada yang tahu bahwa industri strategis datang dari Bung Karno. Saya usia 28 tahun, saya mau pulang, dijawablah saya tinggal situ (Jerman) masuk industri (di sana) tapi dalam waktu yang dibutuhkan harus kembali. Saya tanda tangan (kesepakatan) itu,” kata Habibie dalam orasi ilmiah saat peluncuran Habibie Institute for Public Policy and Governance (HIPPG) di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (25/6/2019).

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2019/06/25/15200021/cerita-habibie-di-jerman-dilarang-soekarno-pulang-ke-indonesia

Apa yang terjadi dengan hidup B. J. Habibie mungkin adalah hal yang aneh sekali jika terjadi di hari ini.

  1. Ada anak bangsa yang berkuliah ke luar negeri dengan biaya pribadi orang tuanya, dengan suka rela ingin kembali ke negaranya untuk menyatakan mimpinya membangun industri penerbangan.
  2. Pemerintah yang menolak anak bangsanya untuk kembali ke negaranya dan memintanya untuk masuk ke industri di sana sampai nanti dibutuhkan.

B. J. Habibie mendapati hal tersebut menuruti perintah Ir. Soekarno, ia bekerja di industri kereta api dan pesawat terbang di Jerman hingga Soeharto, Presiden Indonesia selanjutnya, memanggilnya untuk pulang.

Melihat pendidikan secara adil

Sebelas bulan hidup sebagai Guru SD di salah satu daerah terdepan, terbelakang, tertinggal (3T) di Indonesia, di saat belum genap setengah tahun terlepas dari status sebagai mahasiswa dari salah satu top 3 perguruan tinggi di Indonesia, membawaku pada sebuah perenungan tentang keadilan menyoal pendidikan. Kita semua tahu bahwa adil tak harus berarti sama, tapi, menyoal pendidikan di negeri ini, sudah kah kita mengupayakan keadilan yang seharusnya?

Apa yang sekiranya dibutuhkan oleh seorang anak yang tinggal di sebuah pulau kecil yang tidak ada sekolah menengah di pulaunya?

Apa yang sekiranya dibutuhkan oleh seorang anak bertalenta hebat yang tinggal di kota besar dan berasal dari keluarga yang sederhana?

Apa yang sekiranya dibutuhkan oleh seorang anak yang biasa-biasa saja tapi berasal dari keluarga yang serba ada?

Ketiganya membutuhkan sokongan terkait situasi dan kondisi pendidikan yang dihadapinya. Hanya tentu saja berbeda bentuknya. Tidak bisa disamakan begitu saja: yang satu membutuhkan sekolah menengah yang lebih terjangkau, yang satu membutuhkan bantuan untuk bisa mengeskalasi talenta yang dimilikinya, yang satu perlu dibantu agar bisa dan bersemangat memanfaatkan privileges yang dimilikinya.

Di sini lah menurutku adil menyoal pendidikan menjadi konsep yang tidak lagi bisa diseragamkan dalam program yang persis sama untuk Sabang hingga Merauke, pun dari Talaud hingga Rote. Perlu pengelompokan sesuai dengan kebutuhannya yang mampu disokong oleh negara.

Konklusinya, rasanya penyamarataan sumber daya manusia tidak lagi seharusnya menjadi pikiran di negeri ini. Di anugerahi belasan ribu pulau, ribuan suku bangsa, ratusan bahasa daerah, seharusnya sudah cukup bisa untuk memberi gambaran tentang keberagaman yang mengisinya. Keberagaman yang memperkaya ke-bhineka-annya, yang sayangnya justru tidak sedikit orang terobsesi untuk menghilangkannya.

Dan pun, selayaknya manusia, negeri ini juga tidak bisa membenahi kondisi internalnya terus-menerus tanpa memikirkan hubungannya dengan manusia-manusia yang lainnya. Bayangkan jika sebagai manusia, kita dituntut untuk menjadi manusia yang sempurna dulu baru bisa terkoneksi dengan manusia-manusia lainnya. Apakah akan baik kehidupan yang kita jalani nantinya? Negara pun begitu adanya. Rasanya tidak adil jika dituntut untuk terus mendahulukan memperbaiki kondisi internalnya baru kemudian boleh berpartisipasi dengan negara-negara lainnya dalam lingkup dunia.

Kita bisa kok melakukan keduanya. Sesuai dengan kebutuhannya.

Kembali ke bahasan sebelumnya, tentang pendidikan. Rasanya yang dilakukan sekarang sudah cukup berkeadilan. Anak-anak di Indonesia diberi fasilitas sesuai dengan yang diperlukannya:

Ada yang dibangunkan sekolah agar tidak perlu jauh-jauh berjalan kaki untuk melanjutkan pendidikannya.

Ada yang dikirimkan guru untuk bisa membantunya belajar dan menuntunnya melihat dunia yang lebih luas dari kanan-kiri rumahnya.

Ada yang dibuatkan program untuk mengeskalasi minat, bakat, dan potensinya.

Ada yang diberi kesempatan untuk berkenalan dengan dunia agar kelak sekembalinya bisa membawa pemikiran-pemikiran baik untuk negaranya.

Pada akhirnya, (menurutku) kita hanya perlu melihat lebih banyak keberagaman bangsa untuk tahu apa yang diperlukan tiap-tiapnya.

--

--