Petualangan Sherina: Tentang cita-cita yang tercuri orang lainnya;

Iffah
3 min readOct 9, 2023

--

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Sejak beranjak dewasa (yang entah juga sejak kapan dihitungnya), hampir tidak pernah ada yang menanyakan kepada saya tentang cita-cita. Entah karena apa. Saya juga masih bertanya-tanya sampai sekarang, apakah orang dewasa tidak lagi boleh memiliki cita-cita?

Kalau iya, saya yakin, Iffah yang sewaktu kecil (yang entah seberapa juga ukuran kecil itu) bercita-cita ingin jadi presiden, jurnalis, insinyur, arsitek, dan programmer akan menyesal karena terlalu konsisten dalam bercita-cita. Jadi kurang banyak cita-cita yang pernah dicicipinya.

Beruntungnya, di usia ke-26 ini, Iffah masih memiliki cita-cita. Yang pun masih ia usahakan, walaupun makin ke sini, jalannya terlihat makin berputar ke mana-mana. Ingin jadi jurnalis tapi sekarang malah mengerjakan project-project lucu berbasis riset-riset yang juga lucu dan menemani anak-anak kecil belajar sesekali.

Ya, namanya hidup. Kalau lurus terus nggak lucu kan, ya?

Tapi, ternyata ada yang lebih nggak lucu dari itu :)

Karakter favorit dalam salah satu film yang jadi definisi film sepanjang masa buatmu, yang banyak menginspirasi melakukan ini dan itu di dalam hidup (selalu berani dan senang berdialog dan berdebat dengan siapapun tanpa takut, naik gunung, nggak takut luka, dan kuliah di ITB HAHA), setelah 23 tahun hadir kembali.

Dan mencuri semua impian yang kamu miliki: jadi jurnalis dan melakukan liputan investigasi di pedalaman.

Belum selesai, di tambah… hal-hal yang bertahun-tahun ke belakang se-berusaha itu kamu capai itu (saya berkali-kali proses rekrutmen jadi jurnalis dan selalu tidak berjodoh: harus jadi PM, sudah lebih dulu terikat pekerjaan lain, dibilang over qualified buat jadi jurnalis baru, dan terakhir… current salary saya terlalu jauh sama entry salary-nya jurnalis baru), seolah didapatkan secara instan dan cling oleh si karakter itu.

Satu jam pertama menonton film Petualangan Sherina 2, saya menangis sesenggukan karena meratapi nasib saya terkait hal ini.

“Harus banget ini Sherina gedenya jadi jurnalis terus ngelakuin liputan investigasi di pedalaman?”

Pertanyaan yang saya bawa pulang dan belum terjawab sampai sekarang. Kenapa sih, harus begitu banget?

:)

Tulisan ini, emang nggak ada isinya. Mau marah-marah aja. Kenapa sih setelah 23 tahun, bisa-bisanya Mbak Mira Lesmana dan Mas Riri Riza mengisahkan kembali Sherina kecil sebagai Sherina dewasa yang menghidupi cita-cita yang aku punya? Dengan… terlihat mudah dan begitu saja. Padahal aku mengusahakannya sampai berkali-jali frustasi bertanya ke diri sendiri,

“Apa emang aku nggak jodoh ya buat jadi jurnalis?”

Sebulanan lalu habis sharing ke-PM ketiga di Maybrat kalau nggak semua jawaban harus ada pertanyaannya, tapi semua pertanyaan harus dicari jawabannya. Sekarang Ffah pertanyannya,

Pertanyaan kamu di atas, mau kamu cari nggak jawabannya? Kalau nanti kamu udah nemu jawabannya, apa kamu siap sama apapun itu akhirnya?

Ada nggak sih limitasi waktu bermimpi? Kalau nggak ada saya takut deh, mimpi seumur hidup dan melewatkan hidup yang saya punya untuk mimpi-mimpi yang ternyata bukan punya saya.

Ah, setelah hampir 2 minggu, sebegininya ternyata efek filmnya.

--

--