Yang Teringat di Idul Adha: Tentang Jarak dengan (Si)Apa Saja

Iffah
4 min readJul 10, 2023

--

Photo by Muhammad Hamza on Unsplash

Seorang teman pagi tadi sekali menyematkan sebuah tulisan tentang Idul Adha di media sosialnya. Tentang sejatinya setiap kita adalah Ibrahim dengan Ismail-nya masing-masing dan bahwa Idul Adha adalah tentang percaya dan ikhlas.

Sedikit siang, teman-teman lainnya mulai menyematkan foto dengan keluarga di momen lebaran haji ini. Beberapa lainnya menyematkan post yang sama dengan yang saya baca pertama kali di pagi ini.

Tanpa mengurangi makna yang sudah ada, juga sejarah yang diceritakan tentang harinya, dan tidak lupa ibadah-ibadah yang menyertainya. Buatku, Idul Adha kali ini mempertegas sebuah keyakinan baru di dalam kehidupan yang sesungguhnya sudah sedari dulu secara sadar aku lakukan: tentang berjarak dengan apa, dan pun siapa.

Saya ingat di minggu kedua pulang ke rumah karena pandemi di 2020 lalu, tengah malam saya menelepon seorang teman. Kalau dipikir-pikir, hebat betul waktu itu bisa sebegitu dekatnya dengan orang lain sampai menceritakan (secara real time) ke-tidak nyaman-an terhadap hidup. Terlebih menyoal rumah.

Saya menangis sesenggukan waktu itu, alasannya karena… saya kesulitan beradaptasi harus hidup 24 jam bersama keluarga setelah 4,5 tahun merantau dan hanya bertemu di waktu yang lama satu kali setiap semesternya. Itu pun dipotong hari-hari:

  • Mengurusi Ganeshout di liburan semester 1
  • Diklat OSKM di liburan semester 2
  • Rapat-rapat koordinasi Panitia Wisuda April di liburan semester 3
  • Per-mamet-an OSKM di libur semester 4
  • Susulan-susulan ujian karena sakit di libur semester 5
  • Kerja praktik di libur semester 6
  • OSKM di libur semester 8
  • dan tentu hari-hari Tugas Akhir setelahnya

Ternyata saya cukup asing dengan situasinya. Harus makan bersama dua sampai tiga kali dalam sehari, dicek keberadaannya di kamar setiap menjelang waktu shalat, dlsbnya.

Ternyata, bahkan menyoal keluarga pun saya tetap butuh jarak.

Malam itu, teman saya itu dengan baiknya mendengarkan semua cerita yang saya bicarakan. Di akhir komunikasi malam itu, dia mengirimkan tautan film pendek menyoal keluarga yang ia aku sebagai favoritnya yang kebetulan baru dibagikan aksesnya secara free oleh si sineas via Twitter pribadinya.

Saya tidak bisa menonton film, tiap yang mengenal saya secara dekat pasti tahu seberapa mudahnya Iffah tertidur tiap kali menonton film. Tapi film pendek punya pengecualian tersendiri. Malam itu, saya berterima kasih banyak kepada teman saya itu. Untuk sudah membuat saya lebih tenang tertidur karena akhirnya bisa mulai berpikir untuk menjadi anak bukan hanya dari sudut pandang pribadi, tapi juga sebagai orang tua. Lewat film pendek yang hangat, yang mengantarkan saya ke tidur yang nyenyak. Malam itu.

Mei 2022, saya sedang hidup dengan keluarga piara yang baru saya kenal 9 bulan ketika saya membaca “I Am My Own Home” tulisan Isyana Artharini. Dari sekian puluh lembar (ya, bukunya setipis itu) ada satu kalimat yang membuat saya tahu apa yang saya butuhkan menyoal rumah:

“…I realized that I have always felt the need for a quiet space of my own, but in fulfilling it, I dare only to think about a room instead of a home.”

Saya butuh jarak, tapi hanya jarak. Bukan ketiadaan. Saya senang dibersamai orang banyak. Baik secara harfiah maupun tekstual. Saya senang berada di sekitar banyak orang, tapi tidak untuk berhimpitan. Saya tetap butuh ruang,

untuk bergerak,
untuk bernafas.

Seorang teman pernah di sela obrolan berceletuk,

“Kamu tuh punya banyak teman tapi aslinya nggak punya banyak teman, ya?”

Waktu itu, kalau tidak salah, ia mengomentari celotehan saya tentang hubungan saya dengan orang-orang di sekitar. “Si A tahu X, tapi tidak tahu Y. Si B tahu Z, tapi tidak tahu W” sepertinya waktu itu, cara saya membagikan hidup pada orang di sekitar terlalu njelimet untuknya.

Yang tahunan setelahnya, saya pikir-pikir, emang cara saya berteman sama orang-orang agak beda.

Saya punya banyak layer seperti bawang menyoal hubungan dengan orang-orang lain di sekitar.

Photo by K8 on Unsplash

yang saya sendiri pun sulit mendefinisikan tiap lapisan.

Menulis tulisan ini mengingatkan saya pada obrolan bersama Ayah dan Ibu di tengah tahun 2020. Waktu itu kami ingin mengadopsi kucing. Sejak kecil saya terbiasa bertanya kepada Ayah dan Ibu tiap kali ingin melakukan sesuatu, meminta anti-tesis dari tiap tesis yang saya punya (makanya anaknya kebiasaan suka ngajak berantem jadinya). Obrolan waktu itu sampai pada pertanyaan, saya lupa dari Ayah atau Ibu.

“Namanya makhluk hidup, bisa berjalan, bisa juga meninggal. Siap punya tuh, siap juga kehilangan. Kalau nanti kucingnya hilang atau meninggal gimana? Siap nggak? Akan sedih berkelanjutan nggak?”

Pertanyaan tersebut mengingat saya pada salah satu tulisan di buku yang ditulis Puthut EA menyoal anak laki-lakinya, Kali, yang berjudul Dunia Kali.

“Takdir barang kalau nggak rusak ya hilang”

Pertanyaan dan tulisan di atas membuka mata saya akan reflek yang selama ini saya punya: membuat jarak dengan apa pun siapa. Saya cukup sadar diri saya adalah seorang melankolis. Saya memaknai sesuatu secara lebih mendalam dari kebanyakan orang. Begitu juga dengan rasa memiliki. Menyadari sifat tersebut, dan kenyataan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, saya menolak untuk merasa memiliki sesuatu secara berlebihan. Maka membuat jarak adalah pilihan yang saya ambil setelahnya.

Dengan atau tanpa sadar.

Jika Idul Adha dimaknai sebagai usaha manusia mengikhlaskan apa-apa yang dimilikinya di dalam kehidupan, Ismail-Ismail yang ada dalam rangkulan untuk disembelih di depan pandang, apakah itu artinya… saya terlalu pengecut untuk bisa memaknai dan menikmati juga mengamalkan salah satu ibadah di dalam hidup ini secara utuh?

Karena sejatinya, saya selalu berusaha untuk tidak pernah menggenggam. Sehingga jika ada yang jatuh dan hilang pun ia hanya akan hilang dari pandang: tidak hati ataupun pikiran.

--

--